Kamis, 29 April 2010

CATATAN EDITOR RAYENDRA L. TORUAN ATAS BUKU MENGGALI POTENSI PAJAK PERUSAHAAN DAN BISNIS DENGAN PELAKSANAAN HUKUM




















Sungguh besar dan luar biasa besar potensi pajak kita seandainya dikelola secara benar, jujur, adil, bertanggung jawab berdasarkan hukum meski sebagian Undang-Undang Perpajakan tetap harus kita reformasi dan perbaiki—utamanya menyangkut Pengadilan Pajak[1] dan institusi yang mengawasinya.

Pengelolaan instansi pajak dan mental sumber daya manusia pun harus diperbaiki agar penerimaaan, dan pengelolaan dana yang diperoleh dari para wajib pajak (WP) perorangan dan badan/organsisi tidak mengalami kebocoran seperti yang banyak diberitakan sealama lebih enam bulan pertama tahun 2010. Berita-berita penyelewengan pajak yang jumlahnya ratusan miliar rupiah sungguh menyakitkan hati para WP. Apa jadinya negeri ini jika para WP tidak percaya lagi kepada para aparat pajak?

Ketika sistem dan pelayanan aparat pajak direformasi, masyarakat gembira. Cara pembayaran pajak semakin mudah dan memuaskan karena WP tidak harus tunggu lama di loket pembayaran. Para pegawai pun melayani dengan ramah. Para WP semakin bergairah membayar pajak. Masyarakat pun berlomba-lomba mendapatkan NPWP baru yang akan berdampak terhadap peningkatan jumlah penerimaan pajak.

Peristiwa makelar dan penyelewengan pajak sungguh menyentakkan publik. Jumlah yang diselewengkan luar biasa seperti di Surabaya yang diungkapkan polisi, jumlahnya mencapai Rp300 miliar. Makelar dan penyelewengan pajak tidak hanya dilakukan oleh oknum instansi pajak. Pejabat dan orang-orang yang bekerja di kepolisian, kehakiman, kehakiman, pengacara, dan dari masyarakat itu turut serta dalam jaringan laba-laba yang menjaring uang pajak.

Bagaimana kita membangun negeri ini jika sebagian uang yang berasal dari setoran pajak justru deselewengkan oleh orang-orang tertentu? Kita tahu bahwa 70 persen sumber pemasukan kas negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. Jumlah penerimaan dari sektor pajak masih dapat ditingkatkan jika aparat terkait khususnya aparat pajak lebih kreatif, adil, terbuka, ramah, dan jujur untuk mengeksplorasi sumber-sumber potensi pajak tanpa membebani masyarakat. Akan tetapi, yang sering terjadi justru target penerimaan pajak sering tidak tercapai meski potensi pajak sangat besar.

Sebagian WP termasuk usaha/organisasi tidak membayar sejumlah pajak yang mestinya disetorkan sesuai dengan kewajibannya. Para WP yang bandel itu lebih suka bekerja sama dengan aparat pajak. Oknum-oknum—bisa melalui perantara seperti konsultan atau pengacara—menawarkan kerja sama dengan para WP.

Aparat pajak memberikan potongan pajak sebesar 15 persen, dan hanya menyetorkan kewajibannya sebesar 60 persen, sedangkan yang 25 persen merupakan imbalan atas kebaikan petugas pajak. Model inilah yang memporakporandakan benteng moral para WP dan aparat pajak. Beberapa model juga diterapkan seperti yang terjadi di Surabaya. Petugas pajak tidak menyetorkan uang pajak ke kas negara meski WP sudah membayarkan uang pajak sebesar 100 persen lengkap dengan bukti setoran.

Lain lagi keputusan Pengadilan Pajak—seperti dilansir berbagai media—bahwa 80 persen sengketa pajak justru dimenangkan oleh WP. Keadaan inilah yang menyebabkan, keberadaan dan fungsi Pengadilan Pajak dipertanyakan. Putusan Pengadilan Pajak mengabulkan banding yang dilakukan oleh WP mengindikasikan Pengadilan Pajak mampu menjaga sikap independennya, namun di lain pihak menteri keuangan tidak melakukan intervensi atas kekuasaan pengadilan itu seperti dikutip Media Indonesia (30 Maret 2010). Oleh sebab itu, seperti diungkapkan oleh ICW dengan keputusan Pengadilan Pajak itu yang justru memenangkan para WP maka negara telah kehilangan sekitar Rp12,5 triliun dalam setahun.

Seandainya kita mampu mengeksplore dan menggunakan potensi pajak, Indonesia tidak perlu lagi menundukkan kepala negara-negara (lain) pemberi pinjaman. Jika penerimaan pajak berhasil didapatkan hanya dari 16 persen dari jumlah penduduk, maka jumlah uang pajak sangat luar biasa besarnya.

Oleh karena itu, kita harus menghentikan praktik makelar pajak agar target pemerintah dari sektor pajak rata-rata Rp50 triliun per tahun dapat tercapai. Pemerintah sudah menghabiskan ratusan miliar rupiah untuk membangun kantor-kantor pajak dan sistem teknologi informasi, namun hasil yang kita peroleh belum seperti yang kita harapkan. Menggali potensi pajak baik dari perusahaan dan perorangan bukan hanya ditentukan oleh pembangunan g+edung-gedung dan sarana pendukung. Yang paling penting kita bangun adalah mental para aparat pajak agar melakukan tugasnya dengan jujur, berkehendak baik, bertanggung jawab, berkeadilan, dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan hukum dan peraturan. Tindakan yang harus segera kita lakukan termasuk memperbaiki manajemen Pengadilan Pajak.

Depok, 23 April 2010

Rayendra L. Toruan

Editor



[1] Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak (WP)/penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul di bidang perpajakan antara WP dan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Gugatan itu meliputi pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat paksa Pengadilan pajak (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak). Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara. Persidangan dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak.

Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002, pembinaan serta pengawasan umum terhadap hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan ditanggulangi oleh Kementerian Keuangan. Berdasarkan Pasal 9A ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara—diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara—dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009, secara tegas dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara. Ada pun dasar untuk menegaskan kedudukan Pengadilan Pajak dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 004/PUU-11/2004 dinyatakan, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung (Wikipedia).

Selasa, 23 Maret 2010

KATA PENGANTAR BUKU MENGGALI POTENSI PAJAK PERUSAHAAN DAN BISNIS DENGAN PELAKSANAAN HUKUM















Suatu undang-undang yang telah ditetapkan dan sudah diumumkan melalui lembaran Negara dianggap sudah diketahui oleh seluruh masyarakat. Jadi bila ada wajib pajak menyatakan tidak mengerti kewajiban pajak yang sudah diatur undang-undang, bisa dikatakan alasan tersebut sangat lemah dan tidak bisa dipertimbangkan.

Seharusnya wajib pajak aktif (otodidak) mempelajari dan memahami semua ketentuan peraturan yang berlaku, terutama berkaitan dengan kegiatan dunia usaha yang dijalankannya, mulai dari undang-undang sampai dengan petunjuk teknis pelaksanaannya berupa Peraturan Dirjen Pajak. Wajib pajak yang sudah memahami aturannya pun bisa keliru. Dalam berbagai kegiatan melaksanakan kewajiban pajak sering terjadi beda persepsi, karena tidak mengikuti perubahan peraturan, atau sebab lainnya. Apalagi kalau wajib pajak tidak berupaya memahami, sudah pasti timbul permasalahan yang akhirnya justru membebani wajib pajak dan usahanya.

Sebelum mendirikan suatu usaha, dimana segala aspek hukum dari badan usaha atau pengusaha hendaknya diperhitungkan lebih dahulu termasuk pemahaman aspek pajaknya. Bila mengabaikan aspek hokum, maka bisa terjadi usahanya ditutup secara paksa oleh pihak yang berwenang sehingga dapat menimbulkan kerugian yang jumlahnya tidak terduga. Selain ditagih pokok pajak yang terutang, wajib pajak masih dibebani dengan sanksi perpajakan yang justru lebih memberatkan seperti: bunga, denda dan kenaikan.

Wajib pajak seharusnya berupaya memahami keseleuruhan undang-undang perpajakan dan ketentuan peraturan pelaksanaannya agar dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan dengan baik dan benar, termasuk dalam hal kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pencatatan, kewajiban menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.

Sistem self assessment dimana wajib pajak menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan pajak sendiri dengan media pertanggung jawabannya melalui SPT Tahunan dan atau SPT Masa. Fenomena yang terjadi pada saat ini banyak SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Tahunan Orang Pribadi menunjukkan kekeliruan dan kejanggalan bila dibandingkan dengan fakta yang sebenarnya.

Buku Hukum Dan Potensi Perpajakan Dunia Usaha berguna untuk memecahkan solusi 7 (tujuh) ketidakwajaran dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), antara lain:

1. Ketidakwajaran dalam melaporkan harta pada Lampiran Daftar Harta.

2. Ketidakwajaran dalam melaporkan penghasilan final pada Lampiran Penghasilan Yang Dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Yang Bersifat Final.

3. Ketidakwajaran dalam melaporkan bukti potong pada Lampiran Bukti Potong PPh pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24 baik sumber penghasilan dalam negeri maupun luar negeri.

4. Ketidakwajaran dalam melaporkan pemegang saham/pemilik modal dan pengurus/komisaris pada Lampiran Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Daftar Susunan Pengurus/Komisaris.

5. Ketidakwajaran data ekonomis yang belum dilaporkan ke dalam SPT.

6. Ketidakwajaran penyelenggaranan pembukuan atau pencatatan.

7. Ketidakwajaran pengelolaan administrasi yang amburadul.

Buku ini disusun dengan maksud membantu pembaca dalam mempelajari secara otodidak terutama untuk memahami hukum pajak dalam dunia usaha mulai dari filosofi, kepastian hukum, rasa keadilan, tax design, aspek perpajakan, potensi pajak sampai dengan berbagai perhitungan pajak secara praktis.

Materi Hukum Dan Potensi Perpajakan Dunia Usaha menguraikan tentang:

· Membuka kesadaran akan pentingnya rasa kepastian hukum terutama hukum pajak (pusat & daerah) bagi dunia usaha, karena terkaitnya beban kas flow dari kelangsungan kehidupan bisnis.

· Membayar pajak secara all taxes sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan menghindari sanksi administrasi yang tidak semestinya.

· Memahami rasa kepastian hukum dan rasa keadilan, filosofi Pajak Pusat, seperti: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Properti, Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB).

· Memahami rasa kepastian hukum dan rasa keadilan, filosofi Pajak Daerah, seperti: 5 (lima) jenis Pajak Daerah Provinsi, 11 (sebelas) jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota dan 3 Jenis Retribusi Daerah yang mulai berlaku 1 Januari 2010.

· Pemahaman aspek perpajakan dan potensi pajak untuk berbagai dunia usaha agar terhindar dari kejanggalan/ketidakwajaran dari pelaporan pajak badan usaha dan orang pribadi.

· Memahami rasa kepastian hukum dan rasa keadilan, filosofi Cukai yang dipungut Direktorat Jenderal Bea Cukai.

· Pemahaman aspek perpajakan dan potensi pajak untuk berbagai dunia usaha agar terhindar dari kejanggalan/ketidakwajaran dari pelaporan pajak badan usaha dan orang pribadi juga tidak terjadi pemborosan yang tidak semestinya.

Khususnya kepada Bapak Rahmansyah Lubis, SH (mantan PT. Pertamina), Ibu Rosliana Tambunan, (mantan BPDSU), Prof. DR. Ir. Usman Nasution (mantan Rektor UISU), Prof. Drs. Abubakar Lubis, MSi (BPPT), Prof. DR Maharani Hasanah MS Lubis (IPB), Ir.Mohammad Dolok Lubis, Msc, (Arsitek/Dosen) Drg. Asfan Bahri SpRKG. (USU), Mula Tua Lubis, SE.,M.P (BNI 46), Lily Mardiah Lubis, SH.,SpN (Notaris)., Drs. Ardiansyah Lubis (PT. Arun LNG) dan istri Drg. Nani Khairany (Pemda DKI) serta anak Fazliana Khairiza Irwandani Lubis & Haliza Khairunisa Irwandani Lubis terima kasih banyak atas dukungannya.


Kepada para Pimpinan dan rekan kerja Dosen di Program Pasca Sarjana Magister Akuntansi Universitas Udayana Bali, Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk) Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana Bali, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, STEKPI, Universitas Pakunan Bogor, Universitas Mpu Tantular Jakarta, LP3I Denpasar Bali, seluruh rekan kerja di Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Akuntan Publik Drs. Tasnim Ali Widjanarko, Ir, Drs. Bram Sijbers., RC (Akuntan di Belanda) menyampaikan terima kasih banyak.

Buku Hukum Dan Potensi Perpajakan Dunia Usaha ini diharapkan dapat dijadikan pegangan yang mudah dan praktis bagi masyarakat baik mahasiswa, dosen atau pengajar, praktisi, konsultan, pengusaha, pimpinan manajemen dan pengamat perpajakan . Semoga buku ini bermanfaat sebagai literatur dunia akademis pada umumnya dan dunia praktisi perpajakan pada khususnya.

RESENSI BUKU MENGGALI POTENSI PAJAK PERUSAHAAN DAN BISNIS DENGAN PELAKSANAAN HUKUM



















Buku Hukum Dan Potensi Perpajakan Dunia Usaha adalah sebuah buku praktis yang lengkap dan dirancang untuk membantu pembaca dalam mempelajari secara otodidak terutama untuk memahami hukum pajak dalam dunia usaha mulai dari filosofi, kepastian hukum, rasa keadilan, tax design, aspek perpajakan, potensi pajak sampai dengan berbagai perhitungan pajak secara praktis.

Buku Hukum Dan Potensi Perpajakan Dunia Usaha berguna dapat mengidentifikasi dan memecahkan solusi 6 (enam) ketidakwajaran wajib pajak dalam menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), antara lain:

1. Ketidakwajaran dalam melaporkan harta pada Lampiran Daftar Harta.

2. Ketidakwajaran dalam melaporkan penghasilan final pada Lampiran Penghasilan Yang Dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Yang Bersifat Final.

3. Ketidakwajaran dalam melaporkan bukti potong pada Lampiran Bukti Potong PPh pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24 baik sumber penghasilan dalam negeri maupun luar negeri.

4. Ketidakwajaran dalam melaporkan pemegang saham/pemilik modal dan pengurus/komisaris pada Lampiran Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Daftar Susunan Pengurus/Komisaris.

5. Ketidakwajaran data ekonomis yang belum dilaporkan ke dalam SPT.

6. Ketidakwajaran penyelenggaranan pembukuan atau pencatatan.

7. Ketidakwajaran pengelolaan administrasi yang amburadul.

Buku Hukum Dan Potensi Perpajakan Dunia Usaha menguraikan tentang:

· Membuka kesadaran akan pentingnya rasa kepastian hukum terutama hukum pajak (pusat & daerah) bagi dunia usaha, karena terkaitnya beban kas flow dari kelangsungan kehidupan bisnis.

· Membayar pajak secara all taxes sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan menghindari sanksi administrasi yang tidak semestinya.

· Memahami rasa kepastian hukum dan rasa keadilan, filosofi Pajak Pusat, seperti: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Properti, Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB).

· Memahami rasa kepastian hukum dan rasa keadilan, filosofi Pajak Daerah, seperti: 5 (lima) jenis Pajak Daerah Provinsi, 11 (sebelas) jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota dan 3 Jenis Retribusi Daerah yang mulai berlaku 1 Januari 2010.

· Pemahaman aspek perpajakan dan potensi pajak untuk berbagai dunia usaha agar terhindar dari kejanggalan/ketidakwajaran dari pelaporan pajak badan usaha dan orang pribadi.

· Memahami rasa kepastian hukum dan rasa keadilan, filosofi Cukai yang dipungut Direktorat Jenderal Bea Cukai.

· Pemahaman aspek perpajakan dan potensi pajak untuk berbagai dunia usaha agar terhindar dari kejanggalan/ketidakwajaran dari pelaporan pajak badan usaha dan orang pribadi juga tidak terjadi pemborosan yang tidak semestinya.

Buku Hukum Dan Potensi Perajakan Dunia Usaha ini diharapkan dapat dijadikan pegangan yang mudah dan praktis bagi masyarakat baik mahasiswa, dosen atau pengajar, praktisi, konsultan, pengusaha, pimpinan manajemen dan pengamat perpajakan . Semoga buku ini bermanfaat sebagai literatur dunia akademis pada umumnya dan dunia praktisi perpajakan pada khususnya